Dalam laporan UNESCO yang berjudul “Learning to Be: The World of Education
Today Tomorrow, Edgar Faure,dkk menyebutkan tujuan pendidikan yaitu menuju
masyarakat ilmiah, membentuk kreativitas, menuju komitmen sosial dan terakhir
membentuk manusia seutuhnya. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa tujuan
dari pengembangan manusia adalah tercapainya perkembangan yang semaksimal dan
seutuhnya dalam kepribadian, seluruh bentuk ekspresi dan komitmennya baik
sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat. Karena itu, baik anak-anak maupun
kelompok usia muda harus mendapat kesempatan untuk mengembangkan semua
bakat-bakat yang tersembunyi dalam dirinya. Disekolah hal ini berarti bahwa
siswa dan mahasiswa harus diberi kesempatan untuk mengalami seni dan budaya
kontemporer dan budaya seni generasi sebelumnya. Pendidikan adalah alat (utility) yang dapat digunakan
untuk mengubah (transform) dunia,
masyarakat, bangsa dan negara menjadi lebih baik. Dunia dan masyarakat yang
dipenuhi dengan kedamaian, kasih sayang antar sesama manusia, saling menghargai
dan saling menghormati. Karena pendidikan adalah alat maka alat ini harus
dipegang oleh orang-orang baik dan memahami seluk beluk tentang pendidikan agar
mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan tidak hanya sebagai proses
pemindahan/transfer pengetahuan atau keterampilan tetapi juga pendidikan
merupakan proses internalisasi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebaikan,
kekuatan budaya bangsa. Pendidikan harus berorientasi pada proses bukan
terhadap hasil yang dicapai peserta didik.
Konsep Ivan Illich yaitu Deschooling Society muncul sebagai kritik terhadap kondisi
persekolahan saat itu yang cenderung kaku, ketat, tidak menghargai keunikan
individu dan mematikan kreativitas anak. Menurut penulis konsep tersebut tepat
namun harus disesuaikan dengan konteks pendidikan saat ini. Sekolah diharapkan
dapat menyusun kurikulum yang fleksibel dan menghargai keunikan individu.
Kurikulum dalam pendidikan transformative disusun bersama-sama antara
masyarakat, sekolah dan peserta didik itu sendiri. Kurikulum harus kontekstual
artinya setiap materi dan keterampilan yang diajarkan harus menyesuaikan dengan
konteks local dimana peserta didik hidup dan berkembang. Kurikulum juga
bersifat transformative artinya sesuai dengan perkembangan pada saat itu namun
tidak meninggalkan sejarah dan budaya masa lalu, kurikulum yang disusun menyesuaikan
dengan tumbuh kembang peserta didik.
Paulo Freire, seorang ahli pendidikan progresif dari
Amerika Latin melalui bukunya Pedagogy of
the Oppressed menyatakan bahwa pendidikan merupakan bahasa kritik tehadap
hegemoni kekuasaan yang menindas massa rakyat. Pendidikan adalah politik
mengandung makna bahwa semua aktivitas pendidikan diarahkan kepada politik
mulai dri cara guru mengajar, materi pembelajaran dan hubungan apa yang akan
dibangun. Politik disini artinya adalah pembebasan terhadap praktik
pembelajaran konvensional yang menjadikan anak sebagai objek pendidikan. Freire
menyebutnya dengan pendidikan “gaya bank” artinya model pendidikan yang
menempatkan anak sebagai deposit pengetahuan, guru memberikan materi tanpa ada
interaksi dengan siswa apakah memang membutuhkan materi tersebut. Untuk
menjawab permasalahan ini, maka dalam pendidikan transformative digunakan
metode pembelajaran yang variatif. Metode pembelajaran dalam pendidikan
transformative berorientasi kepada proses artinya setiap pembelajaran memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk terlibat aktif didalamnya. Beberapa
metode mengajar yang dapat digunakan antara lain pembelajaran berbasis masalah,
pembelajaran inkuiri, eksperimentasi, studi banding,dll.
Peran guru sangat penting dan tidak tergantikan dalam
pendidikan transformative. Peran guru yang paling penting adalah sebagai
pembimbing, pendamping dan fasilitator peserta didik selama proses
pembelajaran. Guru menciptakan suasana belajar yang menantang dan menyenangkan.
Peran guru seperti yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara, di depan sebagai
teladan, di tengah memberi ide atau prakarsa dan dari belakang memberi dorongan
atau semangat.
Peran peserta didik dalam pendidikan juga sangat
penting. Dia menjadi subjek dalam proses pembelajaran. Peserta didik harus
kreatif, inovatif, rajin membaca dan pantang menyerah.
Masyarakat dalam hal ini bisa orang tua dan warga yang
peduli terhadap pendidikan. Perannya juga sangat penting dalam pendidikan
transformative sebagai pendukung dalam pelaksanaan pendidikan, masyarakat
memberikan sumber daya baik materiil maupun spiritual kepada guru dan siswa
guna mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Fenomenologi pendidikan memberi ruang telaah dan
metode dalam praktek pendidikan baik oleh guru, masyarakat dan pemerintah.
Seperti kita ketahui bersama, berbagai macam permasalahan dan tantangan
pendidikan datang silih berganti terhadap pendidikan nasional kita.
Permasalahan pendidikan pada tingkat
mikro antara lain praktik pendidikan yang masih berpusat kepada guru, guru yang
tidak kreatif dan variatif dalam menggunakan metode pembelajaran ,peserta didik
masih pasif dan kurang kreatif, hasil evaluasi pendidikan yang masih jauh dari
standar yang diterapkan. Pada tingkat meso seperti manajemen sekolah yang masih
belum professional, sekolah belum menjadi tempat yang menyenangkan bagi peserta
didik sedangkan pada tingkat makro yaitu kualitas pendidikan yang belum merata,
antara pusat dan daerah, jawa dan luar jawa, dan yang paling penting adalah
akses pendidikan yang belum merata diseluruh wilayah Indonesia.
Untuk menuju kesana, maka pendidikan di Indonesia
harus disesuaikan dengan konteks saat ini. Pendidikan tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat kekinian. Alvin Toffler dengan konsepnya tentang gelombang
ketiga peradaban manusia. Menurut Alvin
Toffler, tiga gelombang peradaban manusia:
- Gelombang
pertama (800 SM-1500 M) adalah gelombang pembaruan dimana manusia
menemukan dan menerapkan teknologi pertanian yaitu manusia berubah dari
kebiasaan berpindah-pindah yang menetap disatu tempat. Ciri masa ini
adalah penggunaan “baterai alamiah” yang dapat menyimpan energi yang dapat
diperbaharui.
- Gelombang
kedua (1500 M-1970 M) adalah masyarakat industri, sebagai “manusia
ekonomis” yang rakus yang baru lahir dari Renaissance (pencerahan di Eropa.
Adapun ciri-ciri
masyarakat pada gelombang kedua ini antara lain Imprialisme
dan kolonialisme di gelombang kedua ini, Gelombang kedua ini berbudaya
produk massa, pendidikan massa, komunikasi massa dan media mass, Budaya
Iptek tumbuh dengan pesat, dan Terjadi urbanisasi dan pembangunan kota
besar, penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui dan polusi yang
menyebabkan kerusakan lingkungan.
- Gelombang
ketiga (1970-2000 M) adalah masyarakat informasi dengan ciri-ciri :Kelangkaan
bahan bakar fosil ; kembali ke energi yang dapat diperbaharui, proses produksi yang
cenderung menjadi produksi masal yang terkonsentrasi, terjadinya
deurbanisasi dan globalisasi karena kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi., Peradaban
gelombang ketiga merupakan Sintesa dari gelombang pertama (tesa) dan
gelombang kedua (antitesa).
Dalam
gelombang ketiga yg disebut sebagai Knowledge Age, dengan digunakannya satelit
telekomunikasi, kabel optik dalam jaringan internet, masyarakat mampu
berkomunikasi secara online.
Menurut Toffler masyarakat pada gelombang ketiga ini akan mengalami apa yang
dia sebut “Culture Shock” yaitu suatu
keadaan dimana masyarakat mengalami keterkejutan budaya. Hal ini akan banyak
terjadi pada warga negara dunia ketiga artinya negera berkembang dan
terbelakang. Untuk mengatasi masalah “Culture
Shock” ini maka dibutuhkan pendidikan tranformatif yaitu model pendidikan
yang mampu meredam gejolak keterkejutan budaya pada masyarakat dunia ketiga.
Pendidikan tranformatif akan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan
perubahan yang begitu cepat. Transformasi pendidikan memberi ruang dialog dalam
aktivitas pendidikan baik di sekolah maupun masyarakat.
Aliran pendidikan transformative diperlukan untuk
menjawab berbagai permasalahan pendidikan dewasa ini. Seperti yang sudah
dijelaskan pada konsep, tujuan serta kurikulum pendidikan ini bisa menjadi
alternative solusi permasalahan diatas. Pendidikan transformative berusaha
berpikir jauh ke depan namun tidak meninggalkan nilai-nilai luhur budaya
bangsa. Peserta didik sebagai subjek pendidikan karena yang menentukan nasib
bangsa ini dimasa depan adalah peserta didik yang dididik saat ini dengan
system pendidikan yang ada. Pendidikan transformative menjadikan anak kreatif dan
produkdif. Ke depan bangsa Indonesia dengan segala potensi baik sumber daya
alam dan sumber daya manusianya tidak lagi menjadi pasar namun menjadi bangsa
yang bermartabat, berdaya saing dan disegani bangsa-bangsa lain.